Sejarah
Wayang Golek
Wayang Golek adalah
salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa
Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur
sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang
berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang
Golek.
Yang dimaksud dengan
wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek)
wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta
yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa karya R Ng. Ranggowarsito. Beliau
berhasil mengolah cerita-cerita yang bersumber dari kebudayaan India yang
dialkulturasikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni
pertunjukan tradisi yang berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan
wayang kulit yang dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis
wayang trimatra atau tiga dimensi.
Menurut C.M Pleyte,
bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada tahun 1455 Saka atau
1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16 dalam naskah Ceritera
Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring /
Kuningan.
Pendapat lain yang
berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan
Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Sanga.
Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan
di Kasultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai
media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah
satu Sunan dari Dewan Wali Sanga yang menciptakan Wayang Golek, tidak lain
adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek Pertama.
Pada waktu
kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, ketika
jaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni
pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya, ditambah lagi banyaknya
kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam
konteks kepentingan pemerintahan, dalam penyebarannya wayang golek dengan
adanya kebebasan pemakaian bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih
berkembang, dan menjangkau hampir seluruh Jawa Barat.
Menurut penjelasan
Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk
membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita
Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara
berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke 18-19. Penemuan ini diperkuat
dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati
Bandung (Karanganyar), menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal
Tegal Jawa Tengah, yang bertempat tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat
bentuk golek purwa. Pada abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang
golek, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita
ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek
Purwa Sunda..
Dalam perjalanan
sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan.
Terutama peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh
besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan
wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda)
dilingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk
keperluan umum.
Fungsi pertunjukan
wayang tersebut bergantung pada permintaan, terutama para bangsawan pada waktu
itu. Pergelaran tersebut untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka
tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walupun ada
tetapi sudah jarang sekali di pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan
sedekah bumi, setiap tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah
pertunjukan wayang golek untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan
untuk keperluan memperingati hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran
dan lain sebagainya. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang mengandung
nilai tuntunan dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, tidak demikian
halnya.
Hasil wawancara dari
beberapa tokoh wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi
(Karawang), Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung (Bandung), memberitakan bahwa
sejak tahun 60-an sampai tahun 70-an, fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima
khalayak penonton. Awal tahun 70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan
bintang pesinden/juru kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi
dalangnya. Akhirnya pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman
lain yang menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima
pembaharuan tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang,
niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi pertunjukan
yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka tidak mengherankan
bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang golek yang mendatangkan tari
Jaipong yang menari di atas panggung. Itulah barangkali yang membuat esensi
dari wayang tersebut kurang begitu seimbang antara konsep wadah dan isi.
Bagi seniman wayang yang
masih tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap ingin berupaya
mengembangkan daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara garap tuntunan
dan tontonan. Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-unsur
pedalangan (penggarapan tokoh, lakon, alur, sastera pedalangan, sabet, iringan
dll). Isi adalah penggarapan esensi atau rohani serta pesan moral yang akan
disampaikan.
Kesimpulannya, keberadaan
wayang golek dari dulu hingga sekarang memang mengalami perubahan serta
pengembangan ke arah modernisasi tanpa mengurangi nilai tradisional, dan
esensinya selalu relevan dengan situasi zaman.(Sumanto, Makalah, Konsep wadah
dan isi)
Fungsi Wayang Golek di
tengah-tengah masyarakat mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Di samping
sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga berfungsi sebagai media penerangan
dan pendidikan. Baiak itu tentang moralitas, etika, adapt istiadat atau religi.
Yang tak kalah pentingnya Wayang Golek itu pun berfungsi sebagai upacara ritual
penolak bala, upacara tersebut Ngaruat.
Sampai saat ini Wayang
Golek masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa Barat, baik tua atau pun muda.
Ia masih sering dipergelarkan pada berbagai pesta keramaian seperti khitanan,
perkawinan, perayaan hari-hari besar, malam penggalangan dana, sebagai
kaul/nazar, atau ngaruat untuk memohon berkah dan keselamatan.
Pada masyarakat
pedesaan, Wayang Golek dapat dijadikan alat untuk mengukur status social
seseorang. Artinya apabila di kampong mereka ada orang yang menanggap Wayang
Golek, apalagi dalangnya ternama, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut
dapat dikatagorikan sebagai orang berada.
Sebagai teater, Wayang
Golek merupakan seni pertunjukan yang amat komplek sebab di dalamnya terdapat
berbagai cabang seni seperti seni rupa, seni sastra, suara, musik dan seni
tari. Demikian juga dengan cara penyajiannya, ia tidak cukup hanya dimainkan
oleh seorang Dalang tetapi membutuhkan persoalan pendukung yang kadang-kadang
melebihi 20 orang.
Persoalan pendukung itu
memang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, namun semuanya tetap harus
mendukung Dalang sebagai pusat pertunjukan. Karena itu, dalam pergelaran Wayang
Golek semua personal harus menjadi suatu kesatuan yang utuh dan padu agar semua
dapat berjalan dengan sempurna.
2. Bentuk Wayang Golek
Media utama pergelaran
Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang
ringan), ditatah/doukir, dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan
ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilasi
disana-sini itu disebut juga Wayang Golek, dengan demikian nama benda peraga
dan nama jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.
Bentuk/badan wadag
Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu
bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat
secara terpisah untuk kemudian disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh
seperti “manusia”.
Bagian leher dan kepala
disambungkan oleh bamboo yang telah diraut kurang lebih sebesar jari kelingking
sehingga wayang tersebut dapat menengok ke kiri dank e kanan seperti manusia.
Bagian bawah dari bamboo itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke
bawah dan akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang
pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang
kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi
tidak tampak dari luar.
Bagian tangan dibuat
terpisah terutama pada sendi bahu dan sedi siku. Sendi-sendi itu dihubungkan
dengan benang/tali sehingga wayang tersebut dapat bergerak menyerupai manusia.
Bagian tangan tokoh-tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan)
atau gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan
manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya.
Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter
dan kedudukan tokoh wayang yang bersngkutan.
3. Sumber Cerita
Cerita pada pertunjukan
Wayang Golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab Arjuna Sasrabahu, Ramayana,
dan Mahabarata, yaitu kitab-kitab yang berasal dari kebudayaan Hindu di India.
Namun cerita yang paling banyak digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan
dari lakon induk ini telah lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang
merupakan hasil kreatifitas para dalang.
4. Musik
Musik yang dipergunakan
untuk mengiringi pergelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang
berlaraskan Pelog/Salendro. Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa
orang Nayaga atau Juru Gending, adapun alat musik tersebut lengkap adalah
sebagai berikut :
- Saron 1 Saron 2 - Peking - Demung - Selentem
- Bonang - Rincik - Kenong - Gambang
- Rebab - Kecrek - Kendang - Bedug
- Gong
Kedudukan musik dalam
pergelaran Wayang Golek demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan
perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan,
semuanya diiringi dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan
dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya
Misalnya :
- Satria Ladak, seperti Narayana, Karna, Salya, Somantri, harus diiringi dengan gending gawil
- Satria Lungguh, seperti Arjuna, Abimanyu, Pandu, Semiaji, diiringi dengan gending banjar Sinom atau Udan Mas
- Ponggawa, seperti Gatotkaca, Indrajit, Baladewa, biasa diiringi dengan gending bendrong, Waled, dan Macan Ucul.
- Raja-raja, seperti Kresna diiringi dengan gending Kastawa, Rahwana dengan gending Gonjing atau genggong
5. Sinden/Juru Kawih
Sinden atau Pasinden,
dalam pergelaran Wayang Golek sering pula disebut Juru Kawin, Juru Sekar, atau
Suarawati. Tugasnya adalah melantunkan lagu/kawin untuk mendukung sajian
Dalang. Sebagai pendukung, tentu saja Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan
lagu semena-mena, ia harus mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan
oleh Dalang. Misalnya saat Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka)
lagunya pun harus bermakna sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka
syairnya pun harus romantis. Demikian juga saat Dalang akan menceritakan adegan
di Astina, maka Pasinden ini terlebih dahulu harus mampu memberikan gambaran
keadaan Negara Astina kepada penonton melalui syair-syair lagunya.
Bahasa yang digunakan
dalang dan bahasa yang digunakan Pasinden jelas berbeda fungsi. Bahasa Dalang
fungsinya untuk mengungkapkan cerita, sedangkan bahasa yang digunakan Pasinden
untuk memberikan gambaran dan mempertegas lukisan-likisan peristiwa yang
dituturkan Dalang.
Pada saat jeda atau
pengisi celah antar adegan (saat Dalang istirahat), Pasinden ini biasanya
diberi kesempatan untuk membawakan lagu/kawin lepas yang tidak terikat dengan
cerita. Sering pula lagu-lagu itu dipesan oleh penonton dengan memberi tips
yang tidak ditentukan besar-kecilnya.
Sebuah pergelaran Wayang
Golek umumnya memerlukan antara 2-5 orang Pasinden ditambah dengan Alok atau
Wirasuara (pria). Semuanya tentu saja dituntut harus memiliki suara yang bagus
dengan kepekaan yang tinggi terhadap musik dan karater Dalang
6. Bahasa dan Sastra Pedalangan
Pada dasarnya
bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa
daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut
Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang
tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan
karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.
Demikian juga dalam
penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada
umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil
dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang
menggambarkan suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.
Selain Murwa dan
Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya
untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan.
Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada
karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya
dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan
selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk
Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen
Dalam menyempaikan
lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar
dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca
Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul
dan Sasmita yang mempunyai ari sebagai berikut:
6.1 Sindir
Adalah kritik-kritik,
kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun
sedemikian rupa sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati
yang dikritik atau dikecamnya.
6.2 Silib
Silib adalah suatu
penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan
tertentu.
6.3 Siloka
Siloka adalah
kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti yang
sesungguhnya.
6.4 Simbul
Simbul adalah perlambang
yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.
6.5. Sasmita
Yang dimaksud sasmita adalah isyarat
atau pertanda
Hakikatnya Panca Curiga
tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak
dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk memberikan “batasan” kepada
Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata
(langsung), karena hal itu dapat menyinggung orang lain serta menurunkan
derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka anggap adiluhung.
7. Susunan Pengadegan
Yang dimaksud dengan
susunan pengadegan disini adalah pola cerita atau Struktur Dramatik. Alur
cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak begitu penting sehingga kemapanan pola
cerita tidak akan rusak karenanya.
Seraca garis besar Susunan
Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Karatonan, Pasebanan,
Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang,
Perang Barubuh, dan Karatonan.
7.1. Karatonan
Menceritakan keadaan di
keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan
besar. Para Pembesar negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari jalan keluar
dari kesulitan, kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang
Raja menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.
7.2. Pasebanan
Para pembesar Negara
sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban. Mereka mendapat
tugas dari rajanya, yang intinya perintah tersebut akan merugikan pihak lain.
Rombongan itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh Senapati andalannya.
Pimpinan rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau gajah yang akan
divisualisasikan Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang menarik
7.3. Bebegalan
Saat di sebuah hutan,
rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu
ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat
dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.
7.4. Karaton Lain
Menceritakan keadaan di
keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun
biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi
buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba
dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.
7.5. Perang Papacal
Terjadi peperangan
“kecil” antara kedua belah pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau
si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa
apa yang diingininya.
7.6. Gara-Gara
Gara-gara ini adalah
adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk
menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini
biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga
dapat menghilangkan rasa kantuk. Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh
utama) tersebut dengan Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan
wejangan kepada muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama
diiringi oleh para Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.
7.7. Perang Kembang
Di tengah perjalanan
mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam
pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.
8.8 Perang Barubuh
Tokoh utamanya mengejar
musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah
dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan
diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau
ditewaskan.
8.9 Karatonan
Seluruh adegan biasanya
berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama.
Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.
9. Waktu dan Tempat Pertunjukan
Wayang Golek Sunda dapat
dipertunjukkan siang hari ataupun malam. Hal ini dikarenakan pergelaran
tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya pergelaran Wayang Kulit dari
Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Pertunjukan siang hari
biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB, sedangkan
pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21,30 sampai menjelang azan
Subuh.
Tempat pertunjukan bias
dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau di tempat terbuka asal
tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain dan penontonnya. Baik di dalam
ruangan ataupun di tempat terbuka pergelaran wayang golek membutuhkan panggung.
Panggung tersebut biasanya lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini
dimaksudkan agar para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya
pertunjukan.
Di atas panggung
dipasang dua batang pohon pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5
meter sebagai area permainan atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua
gedebog itu ditinggikan sekitar 80 cm dengan memakai penopang dari kayu yang
telah dosediakan. Di kanan-kiri area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan
posisi yang lebih rendah, fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang
sedang tidak terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan
yang telah baku.
0 komentar:
Posting Komentar