Sejarah Angklung
Angklung adalah
alat musik terbuat dari dua tabung bambu yang ditancapkan pada sebuah bingkai
yang juga terbuat dari bambu. Tabung-tabung tersebut diasah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan nada yang beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut
kemudian ditala mengikuti tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah
dari bingkai ini dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain
menggoyangkan angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Hal
ini akan menghasilkan suatu nada yang berulang. Dengan demikian, dibutuhkan
sebanyak tiga atau lebih pemain angklung dalam satu ensembel, untuk
menghasilkan melodi yang lengkap.
Angklung telah populer di
seluruh Asia Tenggara, namun sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah
dimainkan oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu. Kata
“angklung” berasal dari dua kata “angka” dan “lung”. Angka berarti “nada”, dan
lung berarti “putus” atau “hilang”. Angklung dengan demikian berarti “nada yang
terputus”.
Pada perioda Hindu dan
Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang peranan sangat penting pada
beberapa upacara ritual masyarakat Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
perantara dalam ritual, angklung dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, dewi
kesuburan, dengan harapan agar negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di
kemudian hari, menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh
Kerajaan Sunda untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada
sampai kini ialah Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di
Jasinga,Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih
tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.
Seiring berjalannya waktu, angklung telah menarik banyak perhatian di dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung, menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu, angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan bahkan dapat pula dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam orkestra. Salah satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat terkenal ialah pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo Ngalagena, seorang murid dari Daeng Soetigna, kemudian membuka “Saung Angklung” (Rumah Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan angklung.
UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya Budaya Takbenda dan Warisan
Budaya Dunia pada tanggal 18 November 2010. Di samping itu,
UNESCO menyarankan dengan sangat kepadaIndonesia untuk senantiasa menjaga dan
melestarikan karya dan warisan budayanya.
Gambar Angklung
0 komentar:
Posting Komentar