Sejarah Reog
Kesenian
Reog konon disebut juga Kesenian Ogel atau Doblang. Lain dengan mengemukakan bahwa reogJpendapat
di atas, Atik Soepandi (1988 merupakan perkembangan dari Kesenian Ogel,
sedangkan Ogel sendiri merupakan perkembangan dari Kesenian Doblang. Yang
dimaksud Kesenian Doblang adalah seni karawitan yang terdiri atas 4 (empat)
buah dogdog terompet, angklung, dan gong.
Untuk menelusuri Kesenian Reog ini, tidak banyak sumber tertulis yang mengungkapkannya. Dari beberapa kali pencarian referensi, hanya didapat sumber tertulis mengenai Ogel, dan sedikit Reog. Di sana dijelaskan bahwa reog adalah jenis kesenian tradisional yang memiliki penggemar khusus dan dihargai sebagai seni budaya yang komunikatif, dialog dengan mimic yang tidak dibuat-buat, efektif yang menghidangkan dinamika seperti tabuh dogdog, seni suara, karawitan, humor yang segar, dan tema berupa sempal guyon yang pada umuumnya menyampaikan prigram pembangunan membantu usaha pemerintah secara luwes melalui dialog hidup tanpa pidato yang dipaksakan.
Penjelasan mengenai arti istilah Reog tidak diketahui secara pasti. Untuk mengethui apa yang dimaksud Kesenian Reog kiranya dapat ditelusuri dari Ogel. Ogel berasal dari kata uga-ogel gual-geol yaitu getrkan-gerakan anggota badan yang lucu agar penonton terhibur, menjadi gembira, penuh gelak tawa. Peralatan pengiring Kesenian Ogel terdiri atas empat buah dogdog yang meliputi dogdog besar yang disebut dengan jongjrong, dogdog kecil disebut panempas, dogdog terkecil tilingtit, dan dogdog terbesar disebut bangbrang. Keseluruhan dogdog tersebut berfungsi sebagai melodi ritmik dan metric, sebuah terompet sebagai melodi serta angklung sebagai iringan.
Dalam Kamus Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 11 (1990:256) dijelaskan bahwa ogle berasal dari kata gual-geol yang berarti gerakan pantat yang lucu, suatu bentuk musik tradisional Sunda dengan waditra kendang (dogdog) dan angklung ubrug (angklung besar). Ogel menggunakan laras atau tangga nada salendro, degung atau nyorog. Ogel biasa digunakan sebagai hiburan masal dalam pesta perkawinan atau khitanan.
Dalam kesenian Reog peralatan pengiringnya sama dengan peralatan gel, yaitu empat buah dogdog, sebuah terompet, serta angklung hanya ditambah lagi dengan dua buah saron barung sebagai rangka lagu,, sebuah rebeb sebagai melodi, kendang, serta kulanter sebagai pengatur irama dan pendukung gerak, kempul gong sebagai oemangku irama yaitu menjaga agar tempo tetap, dan sering pula ditambah akordeon sebagi waditra melodi.
Cara penyajian dalam Kesenian Ogel, pukulan empat buah dogdog membentuk motif-motif sebagai berikut :
Ngaleunggeuh, motif pukulan sebagai isyarat babak pertunujukan akan segera dimulai;
Ngarajah, mengiring lagu pembukaan/kidung sebagai kata pengantar dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selamat dalam menjalankan tugas;
Kempringan, untuk mengiringi lagu-lagu;
Dengdengtung, motif pukulan untuk mengiringi gerak dan langkah kaki yaitu dua langkah maju dan dan selangkah mundur. Ini mempunyai makna bahwa setiap pekerjaan harus mencontoh pada pengalaman yang lalu, merencanakan proses yang akan dating agar hasilnya baik kuantitas maupun kualitas lebih baik dari yang telah dikerjakan;
Tabeuh jalan, pengiring saat para pemain sedang berjalan atau berkeliling;
Tabeuh saliwat, motif pukulan peralihan menuju atraksi-atraksi humor;
Ngabendrong, motif pukulan bubaran, memberi isyarat bahwa pertunjukan telah selesai.
Lain dengan Ogel, cara penyajian dalam Kesenian Reog telah lepas dari komposisi motif-motif pukulan yang terdapat di atas. Perbedaan lainnya, dalam Ogel pertunjukan humornya ditempatkan pada saat para penonton telah mengantuk, sedangkan dalam Reog, kadang-kadang disajikan pada waktu sore hari ketika para penontonnya masih dalam kondisi segar.
Tidak diketahui secara pasti kapan munculnya Kesenian Reog di Jawa Barat. Hanya saja, dari hasil kegiatan penelitian di lapangan yang dilakukan di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dituturkan oleh seorang informan bahwa Kesenian Reog tumbuh sejak lebih kurang tahun 1960-an. Pada saat itu kesenian ini lebih dikenal dengan sebutan "Ogel". Di lokasi tersebut (Kecamatan Ciparay), perkumpulan Reog terdapat di beberapa desa, salah satunya adalah Desa Pakutandang.
Untuk menelusuri Kesenian Reog ini, tidak banyak sumber tertulis yang mengungkapkannya. Dari beberapa kali pencarian referensi, hanya didapat sumber tertulis mengenai Ogel, dan sedikit Reog. Di sana dijelaskan bahwa reog adalah jenis kesenian tradisional yang memiliki penggemar khusus dan dihargai sebagai seni budaya yang komunikatif, dialog dengan mimic yang tidak dibuat-buat, efektif yang menghidangkan dinamika seperti tabuh dogdog, seni suara, karawitan, humor yang segar, dan tema berupa sempal guyon yang pada umuumnya menyampaikan prigram pembangunan membantu usaha pemerintah secara luwes melalui dialog hidup tanpa pidato yang dipaksakan.
Penjelasan mengenai arti istilah Reog tidak diketahui secara pasti. Untuk mengethui apa yang dimaksud Kesenian Reog kiranya dapat ditelusuri dari Ogel. Ogel berasal dari kata uga-ogel gual-geol yaitu getrkan-gerakan anggota badan yang lucu agar penonton terhibur, menjadi gembira, penuh gelak tawa. Peralatan pengiring Kesenian Ogel terdiri atas empat buah dogdog yang meliputi dogdog besar yang disebut dengan jongjrong, dogdog kecil disebut panempas, dogdog terkecil tilingtit, dan dogdog terbesar disebut bangbrang. Keseluruhan dogdog tersebut berfungsi sebagai melodi ritmik dan metric, sebuah terompet sebagai melodi serta angklung sebagai iringan.
Dalam Kamus Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 11 (1990:256) dijelaskan bahwa ogle berasal dari kata gual-geol yang berarti gerakan pantat yang lucu, suatu bentuk musik tradisional Sunda dengan waditra kendang (dogdog) dan angklung ubrug (angklung besar). Ogel menggunakan laras atau tangga nada salendro, degung atau nyorog. Ogel biasa digunakan sebagai hiburan masal dalam pesta perkawinan atau khitanan.
Dalam kesenian Reog peralatan pengiringnya sama dengan peralatan gel, yaitu empat buah dogdog, sebuah terompet, serta angklung hanya ditambah lagi dengan dua buah saron barung sebagai rangka lagu,, sebuah rebeb sebagai melodi, kendang, serta kulanter sebagai pengatur irama dan pendukung gerak, kempul gong sebagai oemangku irama yaitu menjaga agar tempo tetap, dan sering pula ditambah akordeon sebagi waditra melodi.
Cara penyajian dalam Kesenian Ogel, pukulan empat buah dogdog membentuk motif-motif sebagai berikut :
Ngaleunggeuh, motif pukulan sebagai isyarat babak pertunujukan akan segera dimulai;
Ngarajah, mengiring lagu pembukaan/kidung sebagai kata pengantar dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selamat dalam menjalankan tugas;
Kempringan, untuk mengiringi lagu-lagu;
Dengdengtung, motif pukulan untuk mengiringi gerak dan langkah kaki yaitu dua langkah maju dan dan selangkah mundur. Ini mempunyai makna bahwa setiap pekerjaan harus mencontoh pada pengalaman yang lalu, merencanakan proses yang akan dating agar hasilnya baik kuantitas maupun kualitas lebih baik dari yang telah dikerjakan;
Tabeuh jalan, pengiring saat para pemain sedang berjalan atau berkeliling;
Tabeuh saliwat, motif pukulan peralihan menuju atraksi-atraksi humor;
Ngabendrong, motif pukulan bubaran, memberi isyarat bahwa pertunjukan telah selesai.
Lain dengan Ogel, cara penyajian dalam Kesenian Reog telah lepas dari komposisi motif-motif pukulan yang terdapat di atas. Perbedaan lainnya, dalam Ogel pertunjukan humornya ditempatkan pada saat para penonton telah mengantuk, sedangkan dalam Reog, kadang-kadang disajikan pada waktu sore hari ketika para penontonnya masih dalam kondisi segar.
Tidak diketahui secara pasti kapan munculnya Kesenian Reog di Jawa Barat. Hanya saja, dari hasil kegiatan penelitian di lapangan yang dilakukan di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dituturkan oleh seorang informan bahwa Kesenian Reog tumbuh sejak lebih kurang tahun 1960-an. Pada saat itu kesenian ini lebih dikenal dengan sebutan "Ogel". Di lokasi tersebut (Kecamatan Ciparay), perkumpulan Reog terdapat di beberapa desa, salah satunya adalah Desa Pakutandang.