Pages

Labels

About

Rabu, 05 Desember 2012

Reog

Sejarah Reog

Kesenian Reog konon disebut juga Kesenian Ogel atau Doblang. Lain dengan  mengemukakan bahwa reogJpendapat di atas, Atik Soepandi (1988 merupakan perkembangan dari Kesenian Ogel, sedangkan Ogel sendiri merupakan perkembangan dari Kesenian Doblang. Yang dimaksud Kesenian Doblang adalah seni karawitan yang terdiri atas 4 (empat) buah dogdog terompet, angklung, dan gong.

        Untuk menelusuri Kesenian Reog ini, tidak banyak sumber tertulis yang mengungkapkannya. Dari beberapa kali pencarian referensi, hanya didapat sumber tertulis mengenai Ogel, dan sedikit Reog. Di sana dijelaskan bahwa reog adalah jenis kesenian tradisional yang memiliki penggemar khusus dan dihargai sebagai seni budaya yang komunikatif, dialog dengan mimic yang tidak dibuat-buat, efektif yang menghidangkan dinamika seperti tabuh dogdog, seni suara, karawitan, humor yang segar, dan tema berupa sempal guyon yang pada umuumnya menyampaikan prigram pembangunan membantu usaha pemerintah secara luwes melalui dialog hidup tanpa pidato yang dipaksakan.

          Penjelasan mengenai arti istilah Reog tidak diketahui secara pasti. Untuk mengethui apa yang dimaksud Kesenian Reog kiranya dapat ditelusuri dari Ogel. Ogel berasal dari kata uga-ogel gual-geol yaitu getrkan-gerakan anggota badan yang lucu agar penonton terhibur, menjadi gembira, penuh gelak tawa. Peralatan pengiring Kesenian Ogel terdiri atas empat buah dogdog yang meliputi dogdog besar yang disebut dengan jongjrong, dogdog kecil disebut panempas, dogdog terkecil tilingtit, dan dogdog terbesar disebut bangbrang. Keseluruhan dogdog tersebut berfungsi sebagai melodi ritmik dan metric, sebuah terompet sebagai melodi serta angklung sebagai iringan.

            Dalam Kamus Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 11 (1990:256) dijelaskan bahwa ogle berasal dari kata gual-geol yang berarti gerakan pantat yang lucu, suatu bentuk musik tradisional Sunda dengan waditra kendang (dogdog) dan angklung ubrug (angklung besar). Ogel menggunakan laras atau tangga nada salendro, degung atau nyorog. Ogel biasa digunakan sebagai hiburan masal dalam pesta perkawinan atau khitanan.

             Dalam kesenian Reog peralatan pengiringnya sama dengan peralatan gel, yaitu empat buah dogdog, sebuah terompet, serta angklung hanya ditambah lagi dengan dua buah saron barung sebagai rangka lagu,, sebuah rebeb sebagai melodi, kendang, serta kulanter sebagai pengatur irama dan pendukung gerak, kempul gong sebagai oemangku irama yaitu menjaga agar tempo tetap, dan sering pula ditambah akordeon sebagi waditra melodi.

             Cara penyajian dalam Kesenian Ogel, pukulan empat buah dogdog membentuk motif-motif sebagai berikut :

              Ngaleunggeuh, motif pukulan sebagai isyarat babak pertunujukan akan segera dimulai;
Ngarajah, mengiring lagu pembukaan/kidung sebagai kata pengantar dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selamat dalam menjalankan tugas;
Kempringan, untuk mengiringi lagu-lagu;
Dengdengtung, motif pukulan untuk mengiringi gerak dan langkah kaki yaitu dua langkah maju dan dan selangkah mundur. Ini mempunyai makna bahwa setiap pekerjaan harus mencontoh pada pengalaman yang lalu, merencanakan proses yang akan dating agar hasilnya baik kuantitas maupun kualitas lebih baik dari yang telah dikerjakan;
             Tabeuh jalan, pengiring saat para pemain sedang berjalan atau berkeliling;
Tabeuh saliwat, motif pukulan peralihan menuju atraksi-atraksi humor;

              Ngabendrong, motif pukulan bubaran, memberi isyarat bahwa pertunjukan telah selesai.
             Lain dengan Ogel, cara penyajian dalam Kesenian Reog telah lepas dari komposisi motif-motif pukulan yang terdapat di atas. Perbedaan lainnya, dalam Ogel pertunjukan humornya ditempatkan pada saat para penonton telah mengantuk, sedangkan dalam Reog, kadang-kadang disajikan pada waktu sore hari ketika para penontonnya masih dalam kondisi segar.

             Tidak diketahui secara pasti kapan munculnya Kesenian Reog di Jawa Barat. Hanya saja, dari hasil kegiatan penelitian di lapangan yang dilakukan di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dituturkan oleh seorang informan bahwa Kesenian Reog tumbuh sejak lebih kurang tahun 1960-an. Pada saat itu kesenian ini lebih dikenal dengan sebutan "Ogel". Di lokasi tersebut (Kecamatan Ciparay), perkumpulan Reog terdapat di beberapa desa, salah satunya adalah Desa Pakutandang.

         

Ketuk Tilu

Sejarah Ketuk Tilu

        Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan.

         Istilah ketuk tilu adalah berasal dari salah satu alat pengiringnya yaitu bonang yang dipukul tigakali sebagai isyarat bagi alat instrument lainnya seperti rebab, kendang besar dan kecil, goong untuk memulai memainkan sebuah lagu atau hanya sekedar instrumentalia saja. Dilihat dari aspek pertunjukannya tari ketuk tilu terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, sepengiring melantunkan irama gamelan, rebab dan kendang untuk menarik perhatian masyarakat. Pada bagian kedua yaitu takala orang-orang telah berkumpul memadati tanah lapang barulah muncul para penari memperkenalkan diri kepada para penonton sambil berlenggak-lenggok mencuri perhatian penonton. Pada bagian ketiga adalah pertunjukannya itu sendiri yang dipandu oleh seseorang semacam moderator dalam rapat atau juru penerang. Pada bagian pertunjukan ini penari mengajak penonton untuk menari bersama dan menari secara khusus berpasangan dengan penari. Adakalanya apabila ingin menari secara khusus dengan sipenari ia harus membayar sejumlah uang. Di desa-desa tertentu di Jawa Barat, pertunjukan seni tari ketuk tilu ini sering kali dilakukan hingga semalam suntuk.

 
       Konon kabarnya, ketuk tilu memiliki gaya tarian tersendiri dengan nama-nama seperti, depok, sorongan, ban karet, lengkah opat, oray-orayan (ular-ularan), balik bandung, torondol, angin-angin, bajing luncat, lengkah tilu dan cantel. Gaya-gaya ini sesuai dengan cirri khas daerahnya. Saat ini daerah-daerah yang masih memiliki kesenian tari ketuk tilu adalah di Kabupaten Bandung, Karawang, Kuningan dan Garut namun jumlahnya sangat sedikit, itupun hanya diminati generasi tertentu (kaum yang fanatik terhadap seni ketuk tilu). Sedangkan generasi mudanya lebih menyukai seni tari Jaipongan (pengembangan kreasi dari ketuk tilu) karena tarian dan iramanya lebih dinamis dan dapat dikombinasikan dengan tari-tarian modern.
Ditinjau dari perangkat tabuhan, Ketuk Tilu adalah nama perangkat tabuhan yang tersebar hampir di seluruh tatar Sunda. Nama perangkat tersebut dipinjam dari salah satu waditra yaitu ketuk yang terdiri dari tiga buah (tiga buah penclon/koromong). Waditra lainnya yang merupakan kelengkapan tabuhan Ketuk Tilu. satu unit Rebab, satu buah Gong, satu buah Kempul, satu buah Kendang besar, dua buah Kulanter (Kendang kecil), serta satu unit kecrek.

Angklung

Sejarah Angklung

Angklung adalah alat musik terbuat dari dua tabung bambu yang ditancapkan pada sebuah bingkai yang juga terbuat dari bambu. Tabung-tabung tersebut diasah sedemikian rupa sehingga menghasilkan nada yang beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut kemudian ditala mengikuti tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah dari bingkai ini dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain menggoyangkan angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Hal ini akan menghasilkan suatu nada yang berulang. Dengan demikian, dibutuhkan sebanyak tiga atau lebih pemain angklung dalam satu ensembel, untuk menghasilkan melodi yang lengkap.

Angklung telah populer di seluruh Asia Tenggara, namun sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah dimainkan oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu. Kata “angklung” berasal dari dua kata “angka” dan “lung”. Angka berarti “nada”, dan lung berarti “putus” atau “hilang”. Angklung dengan demikian berarti “nada yang terputus”.

Pada perioda Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan, dengan harapan agar negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di kemudian hari, menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.

Angklung tertua yang masih ada sampai kini ialah Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga,Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.


Seni Celempung

        Sejarah Celempung

       Celempung  merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempungnya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi.

       Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter.

Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.